Serayupos.com – Puluhan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Kementerian Kebudayaan di Jakarta, Kamis (6/11/2025). Aksi tersebut digelar sebagai bentuk penolakan terhadap usulan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang berencana memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Menurut para demonstran, pemberian gelar tersebut dianggap tidak pantas mengingat berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan praktik korupsi yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru.
Koordinator aksi Gemas menyampaikan bahwa langkah pemerintah untuk mempertimbangkan Soeharto sebagai pahlawan nasional dinilai mencederai keadilan sejarah. “Kami menolak keras upaya pemutihan sejarah dan glorifikasi terhadap sosok yang bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan, serta praktik korupsi selama 32 tahun berkuasa,” ujarnya di sela-sela aksi.
Para peserta aksi membawa spanduk dan poster bertuliskan tuntutan seperti “Soeharto Bukan Pahlawan, Tapi Pelanggar HAM” dan “Adili, Bukan Hormati.” Mereka menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih berpihak pada korban daripada mengangkat figur yang dianggap bertanggung jawab atas kekerasan politik di masa lalu. Aksi berjalan damai dengan pengamanan ketat dari aparat kepolisian.
Menurut Gemas, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto justru berpotensi mengaburkan nilai-nilai demokrasi dan reformasi yang diperjuangkan masyarakat Indonesia pada 1998. “Kami tidak menolak penghargaan terhadap tokoh-tokoh bangsa, tapi Soeharto jelas bukan sosok yang patut dijadikan teladan bagi generasi penerus,” lanjut salah satu juru bicara aksi. Mereka menilai, pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan gelar kehormatan agar tidak menimbulkan luka sejarah baru di tengah masyarakat.
Aksi ini juga diwarnai dengan pembacaan orasi dari sejumlah tokoh masyarakat sipil dan aktivis HAM. Mereka menyinggung berbagai tragedi kemanusiaan yang terjadi pada masa Orde Baru, termasuk peristiwa 1965, penculikan aktivis 1997–1998, serta pembatasan kebebasan pers dan organisasi politik. “Kita tidak boleh melupakan sejarah kelam. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan menutup mata terhadap penderitaan rakyat,” kata salah seorang aktivis yang turut berorasi di lokasi aksi.
Selain itu, Gemas menilai keputusan Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM dan nilai demokrasi. Mereka mendesak Presiden untuk tidak menyetujui usulan tersebut serta meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut bersuara. “Presiden harus tegas menolak wacana ini. Negara tidak boleh memberikan penghargaan kepada sosok yang memiliki catatan pelanggaran berat terhadap rakyatnya sendiri,” tegas perwakilan Gemas.
Pemberian gelar pahlawan nasional sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa seorang tokoh dapat dinobatkan sebagai pahlawan jika memiliki jasa luar biasa terhadap bangsa dan negara, serta tidak pernah melakukan tindakan tercela atau merusak persatuan nasional. Gemas berpendapat bahwa Soeharto tidak memenuhi kriteria tersebut karena keterlibatannya dalam berbagai kebijakan represif selama masa kekuasaan Orde Baru.
Beberapa pengamat politik juga turut menyoroti wacana ini. Mereka menilai bahwa penghargaan terhadap Soeharto bisa menimbulkan kontroversi dan polarisasi sosial di tengah masyarakat. “Kita tidak bisa menafikan pembangunan ekonomi yang terjadi pada masa Orde Baru, tetapi menutup mata terhadap sisi kelamnya juga berbahaya bagi pendidikan sejarah bangsa,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik di Jakarta.
Sementara itu, hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Kebudayaan mengenai tindak lanjut dari usulan tersebut. Namun, wacana pemberian gelar kepada Soeharto telah memicu reaksi keras di berbagai daerah dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Banyak warganet yang menyuarakan penolakan dengan tagar #SoehartoBukanPahlawan sebagai bentuk solidaritas terhadap korban-korban kebijakan Orde Baru.
Aksi yang berlangsung selama hampir dua jam itu diakhiri dengan doa bersama dan pembacaan pernyataan sikap. Dalam pernyataan tersebut, Gemas menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan semata menolak pemberian gelar kehormatan, tetapi juga menjaga agar sejarah tidak diselewengkan demi kepentingan politik. Mereka berjanji akan terus melakukan pemantauan terhadap kebijakan pemerintah terkait penghargaan tokoh nasional.
Dengan tegas, Gemas menutup aksinya dengan satu pesan yang diserukan bersama-sama: “Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan sejarah, melainkan yang berani mengakuinya.” Aksi ini menjadi pengingat bahwa perdebatan mengenai warisan Orde Baru masih menjadi isu penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia hingga hari ini.
0 Komentar