Serayupos.com – Ahli digital forensik Rismon Sianipar menantang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk melakukan debat terbuka di depan publik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo. Tantangan itu ia sampaikan pada Selasa (11/11) sebagai tanggapan atas pernyataan Polri yang menuduh dirinya bersama Roy Suryo dan dr. Tifa telah memanipulasi dokumen ijazah kepala negara tersebut. Rismon menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar dan dirinya siap mempertanggungjawabkan hasil analisisnya secara ilmiah di hadapan publik.

Menurut Rismon, tudingan yang menyebut dirinya melakukan manipulasi adalah bentuk serangan terhadap integritas ilmuwan independen. Ia menilai Polri seharusnya tidak menghakimi hasil riset tanpa dasar ilmiah yang jelas. “Berani tidak ahli forensik mereka yang menuduh kami tampil ke depan dan membuktikan secara ilmiah? Jangan hanya bicara di ruang penyidikan,” ujar Rismon dalam pernyataannya. Ia menambahkan, perdebatan mengenai keaslian dokumen seharusnya dilakukan dengan dasar kajian ilmiah, bukan sekadar opini atau klaim sepihak.

Rismon juga menjelaskan bahwa dirinya dan timnya, termasuk Roy Suryo dan dr. Tifa, tidak pernah melakukan tindakan manipulatif terhadap dokumen apa pun. Mereka, kata dia, hanya melakukan kajian digital forensik untuk menganalisis keaslian dokumen secara akademik. “Kalau kami dianggap tidak ilmiah, tunjukkan pembuktiannya dengan cara yang ilmiah juga,” ucapnya. Ia mencontohkan, seharusnya Polri atau pihak mana pun yang membantah hasil temuannya dapat menulis buku atau jurnal ilmiah tandingan, seperti dirinya yang telah menerbitkan Jokowi’s White Paper.

Kasus ini bermula dari laporan dugaan ijazah palsu yang menyeret beberapa nama, termasuk Roy Suryo dan rekan-rekannya, ke meja penyidikan. Polri sebelumnya menetapkan mereka sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi hoaks pada 7 November 2025. Kasus ini memancing perhatian publik karena menyangkut Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, yang sejak lama menghadapi isu terkait keaslian dokumen pendidikannya. Hingga kini, Polri masih menegaskan bahwa ijazah tersebut asli dan sah secara hukum.

Di sisi lain, sejumlah tokoh publik turut menanggapi perkembangan kasus ini. Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan bahwa kasus tersebut perlu dilihat secara logis dan proporsional. Ia menilai bahwa penyelidikan terkait tuduhan ijazah palsu tidak boleh mengarah pada pembungkaman pendapat, namun juga harus dilandasi tanggung jawab hukum. Mahfud meminta agar semua pihak berhenti membesar-besarkan isu yang belum tentu benar dan menunggu proses hukum berjalan secara objektif.

Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengimbau publik untuk tidak mudah mempercayai narasi yang belum terbukti kebenarannya. Juru bicara PSI menegaskan bahwa penyebaran tuduhan tanpa dasar dapat merusak citra lembaga negara dan mencederai etika demokrasi. PSI juga meminta agar aparat penegak hukum menindak tegas penyebar hoaks tanpa mengorbankan hak kebebasan berekspresi. “Kritik boleh, tapi jangan sampai menebar fitnah yang bisa memperkeruh suasana politik,” ujar perwakilan partai tersebut.

Dalam konteks hukum, Polri menyatakan penyelidikan terhadap kasus dugaan ijazah palsu ini telah dilakukan sesuai prosedur dan menggunakan alat bukti yang sah. Penyidik juga memastikan bahwa proses yang dijalankan telah memenuhi unsur pidana dalam pasal-pasal yang disangkakan. Meski demikian, tantangan debat terbuka dari Rismon Sianipar disebut akan menjadi perhatian tersendiri, terutama karena menyangkut aspek akademik dan transparansi publik.

Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak Polri terkait ajakan debat terbuka yang disampaikan Rismon. Namun, sejumlah pengamat hukum menilai langkah tersebut bisa menjadi momentum baik untuk menunjukkan keterbukaan lembaga penegak hukum dalam merespons kritik ilmiah. Publik pun menanti apakah tantangan tersebut akan dijawab secara terbuka atau tetap ditangani melalui mekanisme penyidikan internal.

Kasus ini menyoroti pentingnya integritas ilmiah dalam ruang publik dan ketegangan antara kebebasan berekspresi dengan batasan hukum. Rismon menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa perjuangannya bukan untuk menyerang individu, tetapi untuk menegakkan kebenaran ilmiah. “Kami hanya ingin membuktikan bahwa data bisa diuji, dan kebenaran harus ditemukan melalui ilmu, bukan tekanan,” ujarnya. Ia berharap diskursus publik ini bisa menjadi pelajaran penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas di tengah iklim demokrasi Indonesia.