Serayupos.com – Kekhawatiran masyarakat Banyumas mengenai potensi longsor di sekitar lereng Gunung Slamet akibat aktivitas tambang menjadi sorotan setelah berbagai unggahan viral di media sosial. Narasi tersebut mengaitkan banjir besar di Aceh dengan dugaan penambangan di Banyumas. Kepala Cabang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah, Mahendra, menegaskan bahwa kekhawatiran itu berlebihan, tidak sejalan dengan kondisi lapangan, serta tidak didukung bukti yang valid.

Mahendra menjelaskan bahwa narasi yang beredar melalui TikTok, Instagram, dan Facebook memuat klaim keterlibatan seorang anggota DPR RI asal Banyumas sebagai investor tambang pasir di Desa Gandatapa, Kecamatan Sumbang. Informasi tersebut memicu keresahan publik yang mengaitkan aktivitas penambangan dengan potensi bencana seperti longsor dan banjir bandang. Ia menuturkan bahwa di Gandatapa terdapat dua izin tambang yang sudah diterbitkan, yaitu PT Keluarga Sejahtera Bumindo yang izinnya terbit pada 31 Desember 2023 dan telah beroperasi, serta PT Saka Bumi Gandatapa yang mengantongi izin sejak 25 Desember 2024 namun belum beroperasi hingga saat ini.

Dalam penjelasannya, Mahendra juga menyoroti kekhawatiran warga yang merembet hingga Kecamatan Kebasen, wilayah yang sebenarnya cukup jauh dari lereng Gunung Slamet. Ia menyebutkan bahwa di Desa Kaliwedi, Kecamatan Kebasen, terdapat tiga pemegang izin tambang batu. Namun hanya satu yang beroperasi aktif, yaitu CV Bumi Berkah Mandiri Banyumas dengan investor lokal, sedangkan dua izin lainnya tidak melakukan aktivitas penambangan. Menurutnya, sebagian masyarakat mendapatkan informasi keliru setelah melihat citra tambang lama melalui Google Earth dan menghubungkannya dengan isu terkini.

Mahendra kemudian meluruskan maraknya foto yang dibagikan di media sosial dan dinarasikan sebagai bukti aktivitas tambang di Gunung Slamet. Foto tersebut ternyata merupakan dokumentasi akses jalan dan lokasi proyek panas bumi untuk pembangkit listrik yang dikerjakan pada 2018. Proyek panas bumi tersebut kini berhenti dan masih berada dalam tahapan eksplorasi, bukan kegiatan tambang sebagaimana diberitakan oleh sejumlah akun anonim di platform digital.

Lebih lanjut, Mahendra menilai bahwa kekhawatiran masyarakat tidak sebanding dengan fakta riil mengenai karakteristik tambang di Jawa Tengah, khususnya di Banyumas. Ia mengatakan bahwa tambang di wilayah tersebut berskala kecil dan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur konstruksi lokal. Berbeda dengan tambang di luar Pulau Jawa yang kerap didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar dengan kegiatan berskala raksasa, tambang di Banyumas jauh lebih terbatas dan melibatkan investor lokal.

Menurut Mahendra, perbandingan tambang di Banyumas dengan tambang di wilayah lain yang kerap menjadi rujukan narasi media sosial sangat tidak sepadan. Ia mengibaratkan perbedaan itu seperti semut dan gajah. Tambang di Jawa Tengah memiliki cakupan yang jauh lebih kecil, baik dari sisi areal maupun volume material yang dikeluarkan. Karena itu, klaim bahwa aktivitas tambang di lereng Slamet dapat memicu bencana besar seperti banjir bandang atau longsor besar dianggapnya tidak akurat.

Ia juga mengimbau masyarakat agar lebih selektif dalam menerima informasi yang beredar di media sosial. Menurutnya, informasi mengenai aktivitas pertambangan harus mengacu pada data resmi pemerintah yang dapat diverifikasi. Narasi yang beredar luas tanpa validasi dapat menimbulkan kesalahpahaman dan membuat masyarakat terseret pada opini yang tidak tepat. Mahendra menegaskan bahwa pihaknya selalu melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap seluruh kegiatan tambang yang berizin.