Serayupos.com – Kunjungan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Zulkifli Hasan atau Zulhas, ke lokasi banjir di Kota Padang, Sumatra Barat, pada awal pekan ini menarik perhatian publik setelah ia terlihat memikul sekarung beras sepuluh kilogram saat meninjau para pengungsi. Aksi tersebut berlangsung di tengah situasi darurat yang melibatkan rumah-rumah rusak, genangan lumpur, serta ratusan warga yang mengungsi akibat tingginya debit air. Kehadirannya memunculkan berbagai reaksi, terutama karena publik mengaitkan peran pemerintah dalam mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan.

Dalam tayangan video dan foto yang beredar luas, Zulhas tampak membawa bantuan beras ke salah satu titik pengungsian. Beberapa warga dan pengamat menyebut aksi tersebut sebagai bentuk kepedulian simbolik yang lazim dilakukan pejabat di tengah situasi bencana. Namun sejumlah suara kritis muncul di media sosial, mempertanyakan efektivitas bantuan semacam itu di tengah persoalan struktural yang berkaitan dengan tata kelola lingkungan. Sorotan publik turut berkaitan dengan rekam jejak Zulhas saat menjabat Menteri Kehutanan pada periode dua ribu sembilan hingga dua ribu empat belas, ketika kebijakan perizinan perkebunan sawit di Sumatra meningkat.

Sejumlah pengamat lingkungan menilai perubahan bentang alam akibat ekspansi perkebunan, hilangnya tutupan hutan, serta melemahnya daya serap tanah berkontribusi pada meningkatnya risiko banjir di berbagai wilayah Sumatra. Meski hubungan sebab-akibat tidak dapat digeneralisasi tanpa kajian ilmiah mendalam, pandangan ini menjadi bagian dari diskusi publik yang mengemuka setiap kali bencana banjir terjadi. Para kritikus menilai bahwa persoalan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari kebijakan multisektor yang dibangun bertahun-tahun sebelumnya.

Refleksi Publik atas Simbolisme Politik

Aksi Zulhas memikul karung beras dianggap sebagian masyarakat sebagai bentuk perhatian pejabat terhadap korban banjir. Namun tidak sedikit pula yang menilai tindakan tersebut sebagai simbol politik yang kurang menyentuh akar persoalan. Kehadiran pejabat di lokasi bencana sering kali dibaca dalam dua dimensi, yaitu dimensi kemanusiaan dan dimensi pencitraan. Pada era digital ketika masyarakat memiliki akses luas terhadap rekam jejak kebijakan, tindakan simbolik lebih mudah dipertanyakan ketimbang diapresiasi.

Diskursus mengenai banjir Padang kembali membuka wacana mengenai seberapa kuat dampak alih fungsi hutan terhadap kerentanan ekologis. Aktivitas pembukaan lahan untuk pertanian besar, termasuk perkebunan sawit, disebut para peneliti telah mengubah struktur tanah dan membuat daerah resapan air semakin berkurang. Dalam jangka panjang, situasi ini menciptakan risiko bencana yang muncul berulang. Ketika banjir terjadi, publik bukan hanya membahas curah hujan, tetapi juga rangkaian kebijakan yang membentuk kondisi ekologis saat ini.

Tantangan Tata Kelola Lingkungan di Indonesia

Persoalan banjir di Sumatra dan wilayah lain di Indonesia menunjukkan tantangan besar dalam tata kelola lingkungan. Berbagai kajian menyebut bahwa banjir tidak hanya disebabkan cuaca ekstrem, tetapi juga menurunnya kualitas lingkungan akibat kombinasi kebijakan penggunaan lahan, degradasi hutan, dan pertumbuhan industri ekstraktif. Pemerintah pusat maupun daerah dituntut untuk memiliki strategi jangka panjang yang mengutamakan keberlanjutan ekologis.

Dalam konteks tersebut, kunjungan pejabat ke lokasi bencana seharusnya menjadi momentum refleksi, tidak hanya sebatas kunjungan simbolik. Pemulihan lingkungan membutuhkan langkah yang lebih komprehensif seperti restorasi hutan, penguatan penegakan hukum terhadap pelanggaran perizinan, serta evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tata ruang. Diskusi publik mengenai rekam jejak kementerian terkait menjadi bagian dari dinamika demokrasi, di mana masyarakat berhak mempertanyakan konsistensi kebijakan dengan dampaknya di lapangan.

Publik Menuntut Penjelasan dan Komitmen Kebijakan

Di tengah kritik yang berkembang, publik menantikan pernyataan resmi pemerintah mengenai langkah jangka panjang mengatasi persoalan lingkungan di Sumatra Barat. Selain penanganan darurat terhadap korban banjir, pemulihan ekologis disebut sebagai kebutuhan mendesak agar kejadian serupa dapat diminimalkan. Komitmen pemerintah terhadap mitigasi bencana menjadi perhatian warga, terutama mengingat intensitas bencana hidrometeorologi yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Sejumlah organisasi lingkungan mengusulkan pemerintah melakukan audit ekologis terhadap kawasan yang mengalami kejadian banjir berulang. Audit tersebut dinilai dapat memberikan gambaran utuh mengenai faktor penyebab, mulai dari tata guna lahan hingga kondisi hutan lindung. Pemerintah diharapkan membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil dan pakar lingkungan untuk membangun kebijakan yang lebih berkelanjutan.

Bencana sebagai Pengingat Pentingnya Reformasi Kebijakan

Banjir di Padang menjadi pengingat bahwa persoalan ekologis membutuhkan penyelesaian yang bersifat struktural. Bantuan berupa logistik maupun kunjungan pejabat menjadi bagian dari tanggung jawab kemanusiaan, namun tidak dapat menggantikan perlunya reformasi kebijakan jangka panjang. Publik berharap pemerintah dapat melihat bencana ini sebagai peringatan untuk memperkuat pengawasan lingkungan dan mendorong pemulihan kawasan yang rusak.

Pada akhirnya, polemik seputar kunjungan Zulhas mencerminkan semakin kuatnya kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan. Di tengah berkembangnya teknologi dan akses informasi, narasi bencana tidak lagi berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan pertanyaan mengenai kebijakan masa lalu dan masa depan. Reaksi publik menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap tindakan simbolik yang tidak disertai perubahan struktural. Bagaimanapun, pemulihan ekologi membutuhkan komitmen lebih dari sekadar hadir di lokasi bencana.